you never late (part 2)

Saturday, November 27, 2010

well ini lanjutan dari cerpen sebelumnya yg judulnya "you never late (part 1)". bisa dibaca disini


“Aku?! Maunya apa?! Emang kurang jelas ya?! Aku mau kamu nggak deket lagi sama Nuna!”

“Sil, aku nggak bisa kalo nggak deket sama Nuna. Nuna itu udah jadi sahabat aku dari masih kecil banget. Masak kamu nggak ngerti juga.” Fadli memelankan suaranya. Harus ada jalan keluar dari masalah ini.

Fadli nggak bisa kehilangan Silvana tapi juga nggak bisa menjauh dari Nuna. Silvana adalah cewek yang udah mengisi hatinya sebulanan ini. Nuna adalah sahabatnya dari kecil. Sahabat yang Fadli butuhin kalo ia lagi ingin berbagi. Dengan Nuna tidak pernah ada yang ia sembunyikan. Dan sekarang ia harus menjauh dari sahabatnya? Mana mungkin.

* * *

Tapi ini lah yang dilakukan Fadli sekarang. Demi Silvana ia pelan-pelan menjauhi Nuna. Fadli jadi jarang main dengan Nuna lagi, baik di kampus maupun di rumah. Padahal bisa saja ia mengunjungi Nuna dan main lagi bersama. Tapi sayangnya Fadli tidak melakukan itu. Ia benar-benar telah memilih Silvana seluruhnya. Nuna awalnya cukup keheranan melihat tingkah Fadli yang diluar kebiasaan tersebut. Tapi belakangan ia mengerti kenapa Fadli begitu.

Nuna sedih banget waktu tau alasan dibalik menjauhnya Fadli. Hanya demi pacar Fadli tega membuang persahabatan yang udah dibangun belasan tahun ama Nuna. Hanya demi orang yang baru dikenalnya beberapa bulan. Teman-teman Fadli, Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo juga tidak suka dengan tingkah fadli yang begitu. Mereka jadi ikutan menjauh dari Fadli karena Fadli juga pelan-pelan menjauhi mereka. Siapa lagi yang meminta kalau bukan ekornya?

“Fadli!” panggil Harsya. Hari ini teman-temannya ingin mengkonfirmasi semuanya.

Fadli menoleh dan melihat teman-temannya datang menghampirinya. Ia kemudian menggiring Fadli ke tempat sepi di mana tidak ada seorangpun bisa menginterupsi obrolan mereka. Terutama agar tidak ditemukan oleh Silvana.

“Elo jadi sekarang lebih milih Silvana?” Tanpa berbasa-basi Deryl langsung pada topik utama mereka.

“Nggak gitu juga, Ryl,” jawab Fadli.

“Terus kenapa sekarang lo nggak pernah main sama kita? Dan terutama sama Nuna.” Lintar bertanya.

“Gue udah memilih untuk pacaran dan ini konsekuensi gue untuk menghabiskan waktu bareng pacar gue. Bukan berarti gue nggak mau main bareng kalian lagi,” jawab fadli menjelaskan.

“Oke. Kalau gitu sekarang urusan Nuna.” Harsya sepertinya yang punya kendali dari persidangan nggak resmi ini.

“Kalo Nuna itu karena Silvana nggak mau ngeliat gue deket-deket Nuna lagi. Gue juga nggak mau jauh dari Nuna. Tapi Silvana mau,” jawab Fadli.

“Jadi cuma demi pacar, lo ngebuang sahabat lo sendiri? Demi orang yang baru deket ama lo beberapa bulan lo tega ngebuang orang yang udah deket ama lo 13 tahun? Kok lo picik banget sih, Fad? Lucu jujur aja. Lucu banget gue ama tingkah lo. Kok lo nggak bisa sih gunain akal sehat lo buat mikir sedikit aja tentang ini. Lo dibego-begoin tau nggak ama cewek lo. Lo dimanfaatin, lo diperalat.” Revo yang sedari tadi diam saja buka suara.

BUGH! Satu pukulan mendarat di wajah Revo. Fadli tidak bisa mengontrol emosinya. Teman-temannya yang lain bersiaga di depan Revo. Tidak boleh sampai ada perkelahian di sini. Mereka udah berniap nyelesein ini tanpa ada adu fisik.

“Lo nggak usah ikut campur urusan gue, Nuna, dan Silvana. Itu masalah gue. Gue tekenin ya ke lo semua. Gue udah memilih dan gue memilih Silvana. Puas lo? lagi kenapa sih lo semua? Lo semua juga kalo punya cewe pasti bakalan kayak gue. Ngelakuin apapun untuk cewek lo.” Fadli bergegas pergi dari tempat tersebut.

Sebelum benar-benar pergi Revo berteriak, “Lo milih Silvana?! Fine! Semoga lo nggak salah sama pilihan lo. Lo ngebuang Nuna, itu berarti lo ngebuang kita juga!”

Fadli sempat berhenti sebentar. Sebenarnya ia tengah memikirkan kata-kata Revo barusan. Begitu ia berbalik ia mendapati teman-temannya mendangnya dengan remeh dan kemudian mereka semua pun berbalik pergi. Fadli masih terus memikirkan kata-kata tersebut.

* * *

Sudah satu minggu ini Fadli tidak melihat Nuna lagi. Padahal mereka satu kelas di kampus. Mudah saja sebenarnya baginya untuk mendatangi rumah Nuna dan bertanya. Tapi belakangan ini ia sibuk terus dengan Silvana. Nganterin dia pemotretan lah, shooting lah, ke salon lah, wawancara lah, dan segunung kegiatan lainnya. Makanya ia nggak bisa dateng ke rumah Nuna dan bertanya langsung. Setiap kali lewat rumah Nuna, ia selalu melihat lampu kamar Nuna sudah padam. Kalau lampu kamarnya sudah itu tandanya Nuna sudha tidur.

“Fir, lo tau nggak seminggu ini Nuna ke mana?” tanya Fadli pada Fira. Teman dekat Nuna di kampus. Masih teman sekelasnya juga.

“Lah? Kok lo nanya gue? Yang udah temenan belasan tahun ama Nuna kan elo, Fad. Gue juga nggak tahu,” jawab Fira, agak menyindir. Ia tahu masalah yang terjadi antara Nuna dan Fadli.

“Oh, thanks yah,” jawab Fadli.

Ia baru sadar kalau ia bener-bener kangen Nuna sekarang. Ia kangen dengan celotehan Nuna, sikapnya yang spontan, dan nggak pernah jaim-an di depan Fadli, nggak seperti Silvana yang selalu jaim. Fadli juga baru sadar kalau ia kini hanya sendiri. Teman-temannya sibuk bermain sendiri tanpa mengajaknya lagi. Salahnya juga yang berkata begitu beberapa minggu lalu.

“Eh apa, Nun?” tanya Fadli.

“Nun?!”

Fadli baru sadar kalau saat itu ia tengah bersama Silvana. Silvana memicingkan mata, curiga.

“Kamu tadi bilang apa?! Nun? Nuna maksud kamu? Jadi kamu lagi mikirin dia? Dari taadi aku ngomong panjang lebar ternyata kamu nggak merhatiin aku sama sekali dan malah sibuk mikirin temen kamu itu?” Ini yang paling disebelin Fadli. Hal kecil aja bisa bikin Silvana marah mencak-mencak nggak karuan.

“Eh, oh bukan gitu, Sil.” Fadli gelagepan mencoba memberi penjelasan pada Silvana.

“Udah deh mending kamu ngelamunin aja terus tuh si Nuna Nuna itu,” lanjut Silvana lagi.

“Aku bukan ngelamunin dia Sil. Tapi ini udah hampir sebulan dia nggak masuk kampus.” Fadli masih mencoba membela diri. Jangan sampe topik Nuna jadi awal pertengkarang mereka lagi. Udah sebulan ini hubugan mereka adem ayem dibanding bulan sebelumnya.

“Ya udah sih biarin aja,” timpal Silvana acuh nggak acuh. Ternyata benar kata teman-temannya yang bilang kalau Silvana itu sombong abis.

“Nggak mungkin lah aku ngebiarin gitu aja, Sil. Dia bisa ketinggalan pelajaran kalo begini terus. Apalagi jatah absennya udah abis. Yang ada dia nggak bakal bisa ikut ujian tengah semester nanti,” kata Yudha.

* * *

Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo sebenarnya tau ke mana Nuna selama sebulan ini. Mereka sebenarnya sangat ingin memberitahu Fadli. Sekalipun mereka sudah jarang main bersama lagi, tapi Fadli tetap harus tahu masalah ini. Tapi Nuna melarang mereka untuk memberitahunya. Ia tetap tidak ingin diketahui keberadaannya. Berat sebenarnya bagi Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo untuk menjaga rahasia ini. Tapi mau bagaimana lagi mereka sudah kepalang janji pada Nuna. Tidak akan memberitahu di mana Nuna sekarang hingga waktunya tiba.

Sementara Fadli makin bingung harus menelusur dari mana untuk tahu di mana keberadaan Nuna saat ini. Ia bertanya pada Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo tapi mereka selalu mengatakan tidak tahu. Fadli benar-benar tidak dapat berpikir jernih. Ia cemas, ia takut, dan yang paling penting ia kangen. Hubungannya dengan Silvana makin lama makin memburuk dan kini diambang kehancuran. Fadli baru menyadari betapa pentingnya seorang sahabat dibanding seorang pacar yang tidak dapat menghargai sahabat-sahabatnya.

Hingga disuaktu hari Fadli akhirnya mengaku kepada teman-temannya. Tidak semuanya karena ia hanya berhasil menemukan Harsya di kampusnya hari itu. Entah kenapa teman-teman satu kelas mereka yang lain juga hari itu tidak kelihatan padahal lima menit lagi mereka ada kelas.

“Gue cuma mau bilang kalo gue nyesel atas sikap gue selama ini, Sya. Gue salah milih Silvana daripada lo semua. Gue selama ini berusaha untuk bisa membaur dengan teman-teman Silvana yang berasal dari kalangan atas, tapi ternyata Silvana nggak mau membaur dengan temen-temen gue. Gue tau banget gue salah. Gue minta maaf ama lo dan temen-temen yang lain. Terutama Nuna. Jadi plis, Sya, tolong kasih tau gue di mana Nuna sekarang. Gue jangen banget sama dia. Dia ternyata bukan sahabat gue, Sya. Gue jatuh cinta, Sya, ternyata sama dia. Gue baru sadar setelah gue nggak lagi deket ama dia,” aku Fadli.

Harsya tidak menjawab apapun dan hanya memberikan sebuah surat. Tangannya gemetar saat memberikan surat tersebut. Fadli memperhatikan raut wajah Harsya. Tapi yang diperhatikan membuang muka dan memilih melihat ke arah lain.

Fadli bergegas membukanya. Begitu ia membaca isinya ia sangat shock.

“Elo nggak bohong kan?” tanya Fadli memastikan isi surat tersebut tidak main-main.

Harsya menggeleng. “You late, Fad. She’s in coma.” Sambung Harsya.

Fadli bener-bener lemes sekarang. Nggak tahu apa yang mesti ia lakukan. Surat itu dari Nuna.

Hay, Fad.

Apa kabar? Lama nggak ketemu ya. Gue cuma mau bilang, saat lo baca surat ini lo pasti udah putus dari Silvana kan? Dan baru menyadari betapa pentingnya sahabat daripada pacar yang tidak bisa menghargai sahabat-sahabat lo. Saat lo baca surat ini juga mungkin gue sedang terbaring di rumah sakit karena habis operasi. Ada beberapa hal yang selama ini nggak pernah gue kasih tau ke lo, Fad. Gue selama ini menderita lemah jantung, makanya nggak pernah mau diajakin naik wahana-wahana ekstrem di Dufan dan lo selalu bilang kalo gue cemen. Tapi sebenernya gue menderita penyakit itu dan baru ketahuan saat gue SMA. Sorry karena menyembunyikannya dari lo. gue harap setelah ini lo lebih selektif lagi nyari cewek ya. :)

Best regards

Nuna

“Sya, di mana Nuna dirawat?” tanya Fadli.

“Rumah Sakit Bakti,” jawab Harsya.

Fadli kemudian bergegas pergi ke tempat parkir dan mulai menyalakan motornya. Sepertinya hendak pergi ke rumah sakit yang dimaksud. Setelah Fadli pergi, Harsya pun segera pergi ke rumah sakit juga. Hanya saja mengambil rute yang lebih pendek dengan melewati jalan-jalan tikus.

Saat Harsya sampai di ruman sakit semua teman-temannya sudah berada di sana semua. Kecuali Fadli tentunya. Nuna terbaring diranjang rumah sakit lengkap dengan pakaian pasien. Selang infus tertancap pada lengan kirinya. Hidungnya pun menggunakan selang oksigen. Tidak lama kemudian Fadli pun datang dan langsung menghambur ke ranjang Nuna.

“Nuna! Bangung dong. Ini gue Fadli. Gue minta maaf karena selama ini ngejauhin lo. Gue tau gue salah karena lebih memilih pacar dan malah mencampakkan sahabat-sahabat gue. Nuna, bangun dong. Gue bener minta maaf. Gue sayang banget sama lo, Nun. Gue nggak mau kehilangan lo, Nun. Nuna! Plis bangun, Nun. Gue janji deh gue bakal ngasih lo coklat yang banyak sesuai permintaan lo dulu. Gue juga bakal traktir lo ragusa deh selama sebulan. Tapi lo bangun dulu ya, Nun. Bangun. Kalo lo nggak bangun lo.....” belum selesai Fadli ngomong. Nuna, Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo sudah berteriak duluan.

“APRIL FOOL. Hahahahhahaha..” Teriak mereka semua.

Fadli masih belum konek dengan apa yang terjadi.

“Tampang lo, Fad. Sumpah blo’on abis. Hahahaha,” lanjut Nuna.

“Sialan gue dikerjain lo semua.” Akhirnya Fadli sadar apa yang sedang terjadi saat itu.

“Hahahahaha..” Yang lain masih saja tertawa-tawa.

“Kampret lo semua ah. Gue bener-bener dikerjain.” Jawab Fadli. “Eh tapi thanks ya lo semua menyadarkan gue siapa yang seharusnya gue pertahanin dalam hidup gue skarang.” Tiba-tiba Fadli berubah serius.

“Emang siapa?” tanya Deryl.

“Nuna dan lo semua,” jawab Fadli sungguh-sungguh.

“Cieeeeeeeeeee.” Semua jadi ngeceng-cengin Fadli termasuk Nuna. Agak anek emang si Nuna. Orang maksudnya ngeceng-cengin Nuna eh dia malah ikutan.

“Mba Nuna diperiksa dulu ya.” Tiba-tiba seorang suster masuk sambil membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan. “Baiklah kondisi, Mbak, sudah cukup baik. Mungkin sekitar tiga hari lagi sudah boleh pulang ke rumah. Ah iya ini obatnya yang harus diminum hari ini,” kata suster itu lagi sambil menyerahkan lima butir obat yang dimasukkan ke dalam plastik bening berukuran kecil.

“Lo beneran lemah jantung, Nun?” tanya Fadli, serius.

“Nggak.”

“Iya.”

Nuna, Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo menjawab bersamaan. Nuna menjawab nggak dan Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo menjawab iya.

“Serius dong.” Fadli mulai kesel.

“Iya,” jawab Nuna akhirnya.

“Dan dokter memvonis umur Nuna tinggal beberapa bulan lagi,” sambung Harsya, Deryl, Lintar, dan Revo.

-Selesai-


yeaaaaa tamat deh. itu salah satu cerpen yg gw buat. hahahahha...

-best regards-

gals

You Might Also Like

0 comment