i call him, Ayah..
Thursday, February 27, 2014
ia terlihat lelah, tapi juga tegar
ia terlihat gagah, tapi juga menyedihkan
ia membawa semuanya, memanggul semuanya.
membawa tanggung jawab, memanggul beban.
berat,
tapi ditahannya
lelah,
tapi dikuatkannya
semua demi tanggung jawab,
untuk anak, untuk istri, untuk keluarga,
untuk masa depan, dan untuk Tuhannya
ketika menatapnya, tiba-tiba air mata luruh
jatuh
teringat betapa keras ia bekerja
ia terlihat gagah, tapi juga menyedihkan
ia membawa semuanya, memanggul semuanya.
membawa tanggung jawab, memanggul beban.
berat,
tapi ditahannya
lelah,
tapi dikuatkannya
semua demi tanggung jawab,
untuk anak, untuk istri, untuk keluarga,
untuk masa depan, dan untuk Tuhannya
ketika menatapnya, tiba-tiba air mata luruh
jatuh
teringat betapa keras ia bekerja
betapa keras ia berusaha
betapa keras ia berjuang
betapa keras ia bertanggung jawab
betapa keras ia bertahan
betapa kita, kerap kali mengecewakannya
membuatnya sedih
membuatnya marah
dan tiba-tiba kini ia berbalik.
memperlihatkan pundaknya yang tidak lagi gagah
tidak lagi kuat
mungkin renta
memperlihatkan pundaknya yang tidak lagi mampu berdiri tegak
tidak lagi mampu menantang dunia
bahkan mungkin membutuhkan kita untuk memapahnya
betapa keras ia berjuang
betapa keras ia bertanggung jawab
betapa keras ia bertahan
betapa kita, kerap kali mengecewakannya
membuatnya sedih
membuatnya marah
dan tiba-tiba kini ia berbalik.
memperlihatkan pundaknya yang tidak lagi gagah
tidak lagi kuat
mungkin renta
memperlihatkan pundaknya yang tidak lagi mampu berdiri tegak
tidak lagi mampu menantang dunia
bahkan mungkin membutuhkan kita untuk memapahnya
Jakarta, 27 Februari 2014 (10.34pm)
saya tidak bisa membuat puisi, dan ini mungkin juga tidak terrmasuk kategori puisi. tapi, ini adalah ungkapan jujur diri saya ketika tadi di perpustakaan kantor saya kedatangan tamu seorang bapak-bapak dari Bandung. seperti biasa, setiap kali ada tamu bertandang ke perpustakaan, mereka membutuhkan rujukan-rujukan yang diperlukannya. saya memberikan buku-buku rujukan yang dibutuhkannya dan beliau mengucapkan terima kasih. ketika beliau undur diri untuk pamit pergi saya mengantarnya hingga pintu perpustakaan. dan saya terus menatapnya hingga dia berbelok dan tidak terlihat dari hadapan saya.
ketika saya menatap bapak tersebut dari belakang, tiba-tiba saja saya teringat dengan ayah saya. teringat dengan pundaknya yang mungkin saat ini sudah sama rentanya dengan bapak tadi. jika selama ini saya selalu bersandar dipundak ayah saya, mungkin ini waktunya saya harus berkata pada beliau, "ayah, sudah cukup. sekarang, biar ayah ganti bersandar dipundak saya. saya, in shaa Allah sanggup menahan beban yang pernah ayah panggul.."
saya juga tidak tahu kenapa tiba-tiba teringat seperti itu. tanggung jawab sebagai anak, kah? mungkin. tapi sedari dulu, bahkan ketika ayah masih jauh lebih muda, saya selalu menghindari menatap pundak beliau. karena setiap kali melihatnya saya selalu menangis. cengeng? mungkin. tapi setiap melihat pundak ayah, saya selalu merasakan beban dan tanggung jawab berat yang harus ditanggungnya karena ada banyak orang yang bergantung pada beliau. sementara saya tidak bisa berbuat apa-apa.
dan pernah suatu hari ketika saya melihat pundak seseorang, saya juga teringat pada pundak ayah saya dikala beliau masih muda dulu dan saya juga masih kecil. dipundak seseorang itu, suatu hari nanti akan ada banyak orang yang bergantung padanya, dan saya hanya bisa berdoa semoga bisa meringankan sedikit beban dipundaknya (:
gals
0 comment